Ketika dalam Keadaan Normal Orang yang serba berkecukupan seringkali sulit beribadah secara khusyuk dan merasa tidak akrab dengan Tuhannya, meskipun melakukan berbagai ketaatan dan ibadah, kenapa? Bagaimana dan apa kiatnya untuk memperoleh kedekatan diri dengan Tuhan dalam keadaan seperti ini?
Kondisi batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal. Ketika semua kebutuhan tercukupi apalagi berlebihan. Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan dan kekecewaan hidup lainnya lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT ketimbang kondisi batin yang sedang berkecukupan, baik dari segi kuantitatif maupun segi kualitatif. Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda satau sama lain. Namun wacana di dalam Islam dibedakan atas beberapa tingkatan kebutuhan, yaitu:
1) Kebutuhan
dharury, yakni kebutuhan pokok atau
basic needs seperti kebutuhan akan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri.
2) Kebutuhan
hajjiyat, yakni kebutuhan yang penting tetapi belum menjadi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan akan sebuah tempat tinggal, kedaraan, dan alat komunikasi.
3) Kebutuhan
tahsiniyyat, yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap (
luxury), seperti perabotan yang bermerek, aksessoris kendaraan, dan handphone yang lebih canggih.
Seseorang yang berada dalam tingkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati karena perjalanan spiritual dalam kondisi seperti ini seringkali jalan di tempat. Bahkan berpeluang untuk diajak turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia. Berbeda jika seseorang sedang dirundung duka, sedang diuji dengan kebutuhan mendesak, atau sedang dilanda penyesalan dosa yang mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan yang bersifat materi. Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sulit mendaki (
taraqqi) ke langit. Sebagai contoh, orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk dalam shalatnya, bukan hanya karena banyaknya godaan dunia yang ada dalam pikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau
trigger, semacam roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit.
Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan. Seperti orang yang merasakan kesulitan yang sesegera mungkin harus mengeluarkan diri dari kesulitan itu.Itulah sebabnya Rasulullah pernah mengingatkan untuk waspadterhadap doa orang yang teraniaya (madhlum) karena doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan.
Memang dalam Islam dikenal ada dua sayap efektif yang bisa menerbangkan seseorang menuju Tuhan, yaitu sayap sabar dan sayap syukur. Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan seperti musibah, penyakit kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup. Jika sabar menjalani cobaan itu, maka dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan.
Sayap kedua ialah syukur. Sayap syukur terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri berbagai karunia dan nikmat Tuhan, seperti seseorang mendapatkan rezki melimpah, jabatan penting, dan kesehatan prima.
Sayap sabar dan sayap syukur sama-sama bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan tetapi pada umumnya hentakan sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar seolah-olah memiliki energi ekstra yang bisa melejitkan seseorang. Energi ekstra itu tidak lain adalah rasa butuh yang amat sangat terhadap Tuhan (
raja’), penyerahan diri secara total kepada Tuhan (
tawakkal), dan olah batin yang amat dalam (
mujahadah).
Ketiga energi ekstra ini biasanya sulit terwujud di dalam diri orang yang berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang merasa butuh terhadap Tuhan sementara semua kebutuhan hidup serba berkecukupan.
Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sementara ia terperangkap di dalam dunia popularitas. Bagaimana mungkin melakukan olah batin sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin khusyuk beribadah sementara perutnya kekenyangan.
Orang yang hidupnya selalu berkecukupan dan enjoy dengan kehidupan seperti itu adalah sah-sah saja. Akan tetapi jika ia lupa bahwa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai mempersiapkan bekal kehidupan akhirat maka pertanda hidup itu tidak berkah baginya. Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam kebahagiaan semu, selalu dibayangi oleh suasana batin yang hambar, kering, dan membosankan.
Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan jiwa (
al-gina ginan nafs). Tanpa kekayaan dan kebahagiaan jiwa maka sesungguhnya tidak ada kekayaan dan kebahagiaan sejati.
Islam tidak melarang orang untuk mengumpulkan kekayaan materi, bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif tetapi tetap efisien dan efektif.
"Dunia adalah cermin akhirat", demikian kata Hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses. Ibadah
mahdlah seperti shalat, zakat, haji, bahkan puasa, pun membutuhkan
cost. Semuanya perlu biaya dan biaya itu urusan dunia.
Kiat mengatasi suasana batin yang berada dalam kondisi normal ialah memperkuat semangat
raja’ dan
mujahadah di dalam diri. Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan
halwat atau
takhannus seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Goa Hira, ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping isterinya Khadijah yang kaya, bangsawan dan serba berkecukupan.
Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan kediaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana ’
uzlah (pemisahan diri) sementara dari suasana hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Bisa saja dengan melakukan
i’tikaf di salah satu masjid, apalagi di dalam bulan suci Ramadlan.
Di dalam masjid kita berniat untuk beri’tikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Al-Qur’an lebih banyak, shalat, tafakkur dan berzikir. Niatkan bahwa masjid ini adalah goa Hira atau goa Kahfi, yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Khidhir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.
Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah (
dha’f) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak.Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baqa di akhirat. Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan shadaqah, luruskanlah pikiran kita dengan
zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita
tafakkur dan
tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi:
La tahzan innallaha ma’ana (Jangan khawatir, Allah bersama kita),
Ketika Kita ditimpah Musibah dan Kekecewaan Apa hakekat musibah itu? Bagaimana menjadikan musibah sebagai surat cinta Tuhan? Bagaimana bersahabat dengan musibah? Bagaimana Al-Qur’an & hadis berbicara tentang musibah dan kekecewaan?
Musibah dapat dibedakan dengan azab dan bala. Musibah adalah ujian yang harus dilewati seorang hamba dan berfungsi sebagai proses pembelajaran agar kehidupan masa depan kita dapat dijalani dengan lebih baik.Musibah tidak hanya menimpa bagi para pendosa tetapi juga orangorang yang saleh. Berbeda dengan azab, siksaan yang hanya diperuntukkan kepada mereka yang durhaka seperti azab yang pernah ditimpakan umat-umat terdahulu.
Azab tidak menimpa orang yang shaleh, seperti Banjir Nuh yang hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh yang durhaka sedangkan dirinya bersama pengikut setianya selamat. Demikian pula umat Nabi Shaleh, ia bersama umat setianya selamat dari wabah epidemi yang menimpa kaumnya, juga kakeknya Nabi, Abdul Muthalib selamat dari keganasan thair ababil yang memporakporandakan pasukan Abraham.
Sedangkan bala, hampir sama dengan musibah, hanya skalanya lebih personal dan berhubungan dengan human error atau terkait erat dengan hukum sebab-akibat. Misalnya karena kecerobohan dan kelengahan maka seseorang mengalami kecelakaan.
Musibah di sini dapat dicontohkan dengan salah seorang anggota keluarga tercinta kita meninggal dunia, dokter memvonis kita menderita penyakit akut, atau mendapatkan fitnah keji dari orang lain, atau mengalami kekecewaan berat, misalnya gagal dipromosi, gugur dalam seleksi, dijauhi oleh teman, dan semacamnya.
Kondisi batin seperti ini pasti sangat menyakitkan dan membuat orang menjadi putus asa serta kehilangan optimisme dan harapan hidup. Bahkan kondisi seperti ini seringkali membuat seseorang berfikir atau melakukan solusi jalan pintas misalnya dengan nekat bunuh diri, menjauh dari keramaian, dan hanyut di dalam kesensaraan, atau menceburkan diri di dalam kehidupan gelap seperti mengkonsumsi obat penenang destruktif seperti narkoba dan sejenisnya.
Bagi orang yang beragama, cara terbaik yang harus dilakukan ialah kembali kepada Tuhan. Kita harus yakin bahwa sebesar apapun sebuah problem pasti itu masih tetap di ambang batas kemampuan daya dukung hamba-Nya.
Allah Swt, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak mungkin membebani sesuatu di luar batas kemampuan dan daya dukung hamba-Nya.
”Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Q.S. al-Baqarah/2:286).
Dalam perspektif tasawuf, musibah atau kekecewaan hidup adalah salah satu wujud ”surat cinta” Tuhan kepada hamba-Nya. Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya tetapi yang bersangkutan terkeco dan tersesat dengan kesenangan duniawinya.
Akhirnya Tuhan mengutus musibah atau kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara efektif kembali kepada Tuhannya.
Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan atau dalam kondisi berkecukupan seringkali lebih sulit untuk melakukan pendakian (taraqqi) kepada Tuhannya, karena semua kebutuhannya terpenuhi.
Dalam keadaan seperti ini banyak orang yang lalai untuk berdoa. Ibadah yang dilakukan sebatas kewajiban, bukan betul-betul karena mencintai Tuhannya.
Tingkat kekhusyukan ibadahnya dengan sendirinya lemah. Kiat menyikapi musibah kita harus tawakkal, menyerahkan diri secara total dan sepenuhnya kepada Allah Swt. Kita harus yakin bahwa musibah dan kekecewaan ini adalah pilihan terbaik Tuhan untuk kita.
Allah SWT mencintai hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari siksaan lebih pedih dan lebih lama. Nabi pernah bersabda:
” Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit, kesulitan hidup,kesengsaraan, hingga semisal duri yang menusuk kakinya, melainkan itu semua berfungsi sebagai pencuci dosa masa lampau” (Hadis Muttafaq ’Alaih/sangat shahih).
Dalam kesempatan lain Rasulullah pernah bersabda: ”Jika Allah SWT menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya
maka Ia menyegerakan siksaan-Nya (di dunia) dan jika Allah SWT menghendaki sebaliknya kepada hamba-Nya maka Ia menunda siksaan-Nya di hari kiyamat” (Hadis dari Anas, riwayat Turmudzi).
Musibah dan kekecewaan tidak mesti diratapi terlalu lama, bahkan sebaliknya kita perlu mengambil hikmah yang amat penting darinya. Seringkali kita harus bersyukur bahwa musibah memang membawa kekecewaan hidup tetapi pada saat bersamaan kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus diri kita dengan Tuhan.
Bahkan kedekatan itu tidak pernah dirasakan sebelumnya. Seringkali justru rasa kedekatan itu lebih menonjol ketimbang rasa kekecewaan itu. Ini artinya musibah membawa nikmat dan betul-betul musibah terasa sebagai ”surat cinta” Tuhan kepada kekasih-Nya.
Semenjak musibah itu terjadi, semenjak itu terjadi perubahan total hubungan diri kita dengan Tuhan. Sebelumnya kita berjarak dengan Tuhan tetapi dengan musibah itu kita tidak lagi mau berpisah dan berjarak dengan Tuhan.
Musibah kita sikapi dengan tawakkal dan mengikhlaskan diri kita kepada-Nya. Semua itu sudah suratan takdir dan telah tercatat di buku blue print (lauh amhfudz).
Jalanilah kehidupan ini dengan datar dan lurus. Kekuatan tawakkal dan ikhlas akan meberikan power dan keajaiban di dalam diri kita.
Ini jaminan Tuhan: ”Jangan berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita” (Q.S. al- Taubah/9:40).
Kiat menjalani dan mempertahankan sikap tawakkal dalam diri kita, diajarkan oleh kalangan guru-guru tasawuf, dengan menghayati secara mendalam dua kalimat syahadat. ”Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rusul Allah”.
Dengan diawali kalimat negasi, menafikan segalanya, kalau perlu menafikan keberadaan wujud kita sendiri. Seolah-olah yang ada dan eksis di jangat ini hanyalah Dia, Allah SWT. Kita melenyapkan hakekat dan substansi diri kita lalu larut kepada suatu Wujud Yang Maha Abadi. Kita bagaikan mayat yang hanyut di sungai, ke mana pun sungai itu bermuara di situlah kita akan dibawa. Terimalah dirinya apapun adanya, karena semua orang membawa takdir dirinya masing-masing.
Ma’rifah seperti ini lebih mudah muncul ketika kita sedang sujud di atas hamparan sajadah di hadapan kebesaran Allah Swt. Lupakanlah musibah dan kekecewaan itu, hilangkanlah semuanya, kalau perlu lupakanlah keberadaan dirinya, seolah-olah yang ada hanyalah Dia Sendiri.
Tidak ada lagi sosok yang ditipa musibah, tidak ada juga sosok orang yang mendatangkan musibah, tidak ada lagi dendam dan tidak ada lagi yang sakit. Semuanya kembali dan menyatu dengan-Nya. Seolah musibah itu datang untuk menghapus memori gelap masa lampau kita.
Ikhlas yang sesungguhnya memberikan rasa optimisme ke dalam diri setiap orang. Orang yang menjalani keikhlasan penuh tidak akan pernah merasa sedih, sakit, lelah, dan kecewa, karena semua yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Karya dan pengabdian yang dilakukan bukan karena Allah SWT itulah yang sering menyedot energi batin seseorang. Yang bersangkutan sering merasa kecewa, lelah.
Bahkan sakit karena harapannya berbeda dengan respons yang diberikan orang lain terhadapnya. Jika semunya kita niatkan seikhlasnya dan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT maka hidup ini pasti tenang, tidak akan merasa kecewa, tidak akan bersedih, tidak pernah merasa jatuh, dan mungkin tidak akan pernah lagi kita merasa sakit
Ketika Melakukan Dosa Besar Orang yang tergelincir ke dosa besar seringkali melenting ke atas melampaui posisi sebelumnya. Dengan kata lain, dosa dan maksiat seringkali menjadi momentum untuk lebih dekat dengan Tuhan, mengapa?Bagaimana menjadikan dosa sebagai sebagai anak tangga menuju Tuhan? Dosa dan maksiat bukan saja perbuatan tercela dan terlarang, melainkan juga membutakan mata hati, memadamkan nurani. Lebih dari itu, dosa dan maksiat juga membawa kegelisahan sehingga ketenangan hidup terganggu. Jelasnya, dosa dan maksiat merendahkan derajat dan kualitas kemanusiaan.
Semua yang dilarang Tuhan adalah musuh kemanusiaan dan semua yang diperintahkan dan dianjurkan Tuhan demi untuk martabat kemanusiaan. Tuhan tidak butuh untuk disembah tetapi manusialah yang membutuhkan penyembahan itu, karena di balik penyembahan dan ketaatan itu tersimpan hikmah dan berbagai kemaslahatan untuk manusia dan kemanusiaan. Seandainya semua manusia mogok untuk menyembah kepada-Nya maka tidak sedikit pun mengurangi kapasitas dan eksistensi-Nya sebagai Tuhan. Sebaliknya seandainya semua manusia taat kepada-Nya bagaikan malaikat sekalipun maka tidak akan berpengaruh terhadap Dirinya. Perintah dan larangan Tuhan adalah bukti kemaha-pengasih dan penyayang-Nya terhadap hamba-Nya, khususnya kepada manusia, yang diberikan spesifikasi khusus sebagai khalifah, representatif Tuhan di jangat raya ini. Meskipun diberi kekhususan sebagai khalifah, manusia tetap sebagai hamba (’abid) yang harus menyembah kepada Tuhan, sebagaimana halnya makhluk-makhluk lainnya. Konsekwensi tugas kekhalifahan yang diemban manusia, Allah menundukkan seluruh alam semesta kepadanya, bahkan di dalam penciptaan awal manusia (Adam), para makhluk diperintahkan hormat dan sujud kepadanya sebagai bukti kehebatan dan keutamaan manusia. Memang ada yang membangkang dan keberatan untuk sujud, yaitu Iblis bersama komunitasnya, makanya itu mereka dikutuk. Untuk mencari parner di neraka maka mereka diberi kesempatan untuk menggoda manusia sampai akhir zaman.
Konsep penundukan alam semesta (taskhir) tidak bisa diartikan semacam ”SIM” untuk mengeksploitasi alam raya melampaui daya dukungnya. Alam raya tidak akan tunduk dan tidak lagi akan bersahabat kepada manusia manakala melampaui batas-batas yang telah digariskan Tuhan. Allah SWT bukan hanya Tuhan manusia sebagai makhluk
mikrokosmos tetapi juga Tuhan alam raya sebagai makhluk makrokosmos. Realasi makhluk mikrokosmos dan makhluk
Makrokosmos adalah relasi Kekahlifahan.
Sedangkan relasi mikrokosmos-makrokosmos dan Tuhan adalah relasi penghambaan. Karena itu, dosa tidak boleh dimaknai hanya sebagai masalah relasi vertikal antara makhluk dengan Sang Khaliq, tetapi dosa juga terkait dengan masalah relasi horizontal antara sesama makhluk. Dan makhluk di sini bukan hanya sesama manusia, apa lagi hanya sebatas sesama muslim, tetapi juga sesama makhluk, baik makhluk hidup maupun makhluk benda mati. Bukankah kata ”benda mati” itu hanya ada dalam kamus manusia?
Bagi Tuhan dan para malaikatnya, tidak ada istilah benda mati. Semunya itu bertasbih dan menyembah Tuhan, hanya kita yang tidak memahami tasbih dan bentuk ibadah mereka.
Demikian kesimpulan di dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Dosa dan maksiat memang mejatuhkan dan menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan tetapi kalau itu disadari dalam bentuk kesadaran puncak (taubat nashuha) maka tidak mustahil itu melentingkan kembali yang bersangkutan ke atas, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada posisinya semula.
Dosa dan maksiat sangat berpotensi dan dapat dijadikan titik masuk seseorang untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Tidak jarang para pendosa yang taubat justru lebih baik dari pada orang-orang biasa. Ini mungkin disebabkan karena
ia sudah mampu membandingkan betapa jauh jaraknya antara suasana batin yang taat dan yang durhaka kepada-Nya.
Namun ini tidak berarti sebuah ajakan kepada kita untuk mencicipi dosa guna meningkatkan kesadaran dan keimanan, sebab betapa banyak bahkan jauh lebih banyak para pendosa jatuh dan tidak melenting ke atas, melainkan
bagaikan bola yang jatuh di dalam lumpur, tidak lagi melenting ke atas, malah justru terbenam di dalam lumpur kehinaan.Para pendosa yang berpotensi melenting ke atas ialah mereka yang karena dosa dan maksiat yang dilakukannya betul-betul membuat dirinya terpukul dan kecewa, mengapa dirinya harus melakukan sesuatu yang amat bodoh di dalam hidupnya. Karena itu ia menyesal sejadi-jadinya seraya menjalani proses pembersihan diri dengan penuh
ketekunan.
Menurut Imam Gazali, dalam kitab Ihya’ `Ulum al-Din, seorang pendosa diminta untuk tidak sekedar istigfar (membaca lafaz istigfar) melainkan harus menjalani rangkaian proses taubat, yaitu:
1) Memperbanyak mengucap istigfar,
2) dengan segera meninggalkan dosa dan maksiat itu,
3) menyesal sejadi-jadinya terhadap kekeliruan
yang telah dilakukannya,
4) bertekad dan berikrar untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan tercela itu dalam hidupnya,
5) mengganti dan menutupi perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal-amal kebajikan yang ikhlas,
6) kalau dosa itu berupa mengambil hak orang lain maka harus segera mengembalikannya sesegera mungkin,
7) menghancurkan daging yang bertumbuh di dalam dirinya yang berasal dari produk haram dengan cara melakukan
riyadhah dan mujahadah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt.
8) sesegera mungkin meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti atau dikecewakan itu. Jika ini semuanya dipenuhi maka seseorang berhak mendapatkan pengampunan Allah terhadap dirinya.
Banyak pendosa yang telah melakukan tahapan pertobatan itu dengan baik dan tekun. Mereka selalu manangisi dosa masa lampaunya di dalam sujud tahajjudnya di tengah malam. Bahkan air matanya tak pernah bisa dibendung jika mengingat kembali berbagai dosa yang pernah dilakukannya.
Penyerahan diri secara total seperti ini mendapatkan janji pengampunan Allah SWT. Ada ulama yang pernah mengatakan bahwa: ”Air mata taubat itulah yang akan memadamkan api neraka. Bahkan Allah SWT mencintainya,
sebagaimana hadis yang pernah dikutip Al-Gazali dalam kitabnya: ” Allah lebih senang mendengarkan jeritan taubatnmya para pendosa ketimbang gemuruh tasbihnya para ulama”.
Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa ” Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah/2:222). Yang penting bagi yang bersangkutan tidak mempermainkan Tuhan dengan pembatalan-pembatalan taubat.
Seorang sufi, Yahya bin Mu’adz pernah mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa setelah taubat jauh lebih buruk dari pada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum taubat.
Kata Dzun Nun: “Beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskankan diri dari dosa itu adalah taubatnya para pendusta. Barangsiapa bertaubat, kemudian tidak membatalkan taubatnya, maka ia termasuk orang bahagia”. Subhanallah, alangkah beruntungnya orang yang demikian ini.
Bagi para pendosa tidak sepantasnya putus asa terhadap dosa-dosanya. Sebesar apapun dosa seseorang pasti jauh lebih besar dosa pengampunan Tuhan. Tidak ada artinya dosa besar jika yang datang adalah wajah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Yang penting bagi kita adalah penyerahan diri secara total terhadapnya. Terserah Dia. Jika Dia akan memasukkan kita ke dalam neraka itu adalah hak-Nya, tetapi tidak ada yang bisa menghalangi-Nya jika Dia akan memaafkan hamba-Nya.
Apakah Dia akan menyiksa hamba-Nya yang sudah rebah dan bersujud di hadapan kebesaran-Nya sambil menagis memohon ampun dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Bukankah Dia lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun ketimbang sebagai Tuhan Maha Pemarah dan Maha Penghukum.Tidak sedikit para pendosa mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Tuhan.